Rabu, 22 Oktober 2008

NU, Langgar Grobyak

Dulu, hampir setiap kampung atau desa dipastikan memiliki sebuah Langgar Grobyak --- musholla yang terbuat dari kayu --- dinding kayu dan lantai juga kayu. Tidak tahu sekarang masih ada atau tidak?. Langgar seperti ini identik milik warga NU, dibangun oleh Ulama pejuang bangsa, mereka merupakan bagian dari pasukan Pangeran Diponegoro yang melarikan diri dari kejaran penjajah Belanda. Mereka membabat alas untuk dijadikan perkampungan dan sebagai tempat untuk berdakwa menyiarkan ajaran Islam. Khususnya ala Ahlisshunah wal Jamaah.
Disebut Langgar Grobyak karena saat diinjak lantainya oleh jamaah yang hendak mengerjakan sholat berbunyi gerobyak-gerobyak. Langggar ini juga dilengkapi Kenthongan yang terbuat dari akar bamboo, dibunyikan saat menandai waktu sholat. Di samping atau pada halaman Langgar pasti bisa ditemui tumbuh pohon Sawo. Pohon Sawo ini bisa berusia puluhan bahkan ratusan tahun.
Menurut cerita, Sawo berasal dari kata Showu-showu shufufakum--, yang artinya sejajarkan barisan saat berjamaah sholat---. Mungkin, ulama – ulama ini bermaksud agar jamaah, sebelum memasuki langgar diharapkan bisa mengingat dan langsung merapatkan barisan tanpa harus diperintah sang Imam.
Salah satu Langgar Grobyak yang sempat penulis jumpai waktu kecil adalah langgar milik Kyai Nuh yang merupakan pembabat lahan di Dusun Balongombo Desa /kecamatan Tembelang Jombang. Kyai Nuh merupakan pendatang dari daerah PATI Jawa Tengah. Tidak tahu tahun berapa, namun yang jelas kini penulis merupakan keturunan ke-sekian. Didepan langgar ini juga ada pohon Sawo, namun sayang, pohon Sawo seusia langgar grobyak yang sering menjadi panjatan penulis saat itu, telah roboh setelah diterjang angin putting beliung tiga tahun lalu.
Pada suatu saat, salah satu Jamaah langgar yang juga masih anak cucu Kyai Nuh bermaksud merehab bangunan langgar dari kayu ini menjadi Musholla dengan bangunan tembok. Jamaah dan dhurriyah kyai Nuh di kumpulkan, rapat dimulai dan disetujui langgar grobyak dipugar.
Saat pembongkaran dimulai, perdebatan mulai muncul. Dzurriyah yang satu menginginkan rehab bangunan total, bertembok, berlantai keramik, beratap Genting jenis karangpilang,---- agar bangunan terlihat bagus, dengan demikian Jama’ah semakin banyak.
Dzurriyah yang lain tidak setuju, karena bangunan ibadah yang telah dibangun merupakan jerih payah, wakaf dan amal jariyah mbah kyai Nuh. Wakaf dan amal jariah merupkan pondasi dan menjadi sumber amal yag mengalir hingga hari kiamat. Merasa sama-sama menjadi penerus kakek moyang akhirnya dilakukan musyawarah keluarga kembali bersama jama’ah langgar.
Dari Musyawarah itu dihasilkan, Rehab dilanjutkan dengan sebagian bangunan lama tetap dibiarkan, karena masih bisa dipergunakan agar amal jariah tetap mengalir meski pengamal sudah meninggal. Dan yang telah rusak, tidak bisa dipakai bisa diganti, termasuk dinding kayu diganti tembok, gentong wudlu direhab dengan lengkap kamar mandi.
Cerita ini mungkin bisa dijadikan sebagai iktibar bagi kita semua, saat berkhidmad di Jamiyah yang didirikan para Ulama’ NU. Saat menjadi pengurus seringkali kita ingin membangun organisasi NU sesuai dengan kemauan sendiri. Karena melihat organisasi yang didirikan ulama salaf ini butuh pembenahan --- menurut kaca mata kita sendiri---. Masuk di NU dengan konsep organisasi modern, dan semuanya harus dirubah, baik dengan alasan system organisasi sudah ketinggalan zaman atau sudah kalah dengan organisai islam lain.
Namun, yang perlu diingat ……
Berkhidmad di NU kita ingin menjadi penerus ulama’-ulama salaf yang telah meletakkan pondasi organisasi, menyiarkan agama islam sesuai dengan akidah islam ahlussunah waljamaah dan kebutuhan jamaah.
Masuk menjadi pengurus NU bukan membangun system organisasi modern, akan tetapi yang perlu diingat dan dicatat adalah kultur budaya, kebutuhan jamaah serta peletak pondosi. Maka janganlah masuk NU berniat memperbaiki NU karena menilai organisasi sudah rusak atau kurang bener. Akan tetapi berkhidmad di NU hanya sebagai penerus melanjutkan perjuangan para ulama.
Sebagai pengurus anyar boleh merehab system organisasi yang kita pandang dan perlu dibenahi, bukan membangun. Sekalilagi merehab bukan membangun. Merehab berarti membenahi yang rusak atau memang yang sudah tidak layak dipakai, tetapi tetap memanfaatkan bahan-bahan yang ada yang masih bisa dipergunakan. “ Al Mukhafadloh alaa Qodimisholeh Wal Akhdzu Bil jadidil Aslah”. Sehingga tidak menyinggung memutus amal jariyah ulama’.

M. Afairur R
Sekretaris MWC NU Tembelang


Tidak ada komentar: